Rez

Off for a while!

100%

Put your email here if you want:

Comeback Later....
Copyright © Rez

(Hampir) Terpenjara di GBK



Gue suka banget sepakbola. Sudah tentu gue juga suka nonton bola langsung di stadion. Atmosfernya beda, lebih seru. Karena gue gak cukup punya duit buat ke Eropa, jadi gue cuma bisa nonton sepakbola nasional aja. Tim kesayangan gue adalah PSIS Semarang. Waktu sebelum tinggal di Jakarta, di Semarang gue sering banget nonton PSIS langsung di Stadion Jatidiri. Gue udah sering nonton di stadion sejak umur 10 tahun, waktu kecil dulu sama bokap. Baru mulai SMP, gue berani nonton sendirian.

Melihat reputasi kelam suporter Indonesia yang terkenal brutal, beringas, cadas, keras dan kejam, nyokap gue sebenarnya gak terlalu suka dengan hobi gue nonton bola di stadion. Meskipun sudah sering banget gue nonton bola di stadion, dan Alhamdulillah selalu pulang dengan utuh, nyokap tetep aja parno.

Sebagai seorang Warga Negara Indonesia yang cinta tanah air, gue pastinya juga berkeinginan buat nonton timnas Indonesia berlaga secara langsung. Dan keinginan itu akhirnya terwujud ketika gue mulai tinggal di Jakarta. Sejak tinggal di Jakarta, gue jarang absen nonton timnas di Gelora Bung Karno, Senayan. Entah itu cuma persahabatan, laga kualifikasi piala dunia dan piala Asia, piala AFF, sampai laga eksibisi lawan Bayern Muenchen.

Gue punya kebiasaan untuk gak langsung keluar stadion setelah pertandingan berakhir. Alasan utamanya, karena malas keluar desak-desakan. Bayangkan kalau penonton di stadion sebesar Gelora Bung Karno, yang bisa menampung 88ribu orang, keluar di saat bersamaan. Bakalan desak-desakan, kegencet sana sini, malah bisa keinjek-injek. Jadi,mending stay di dalem, setelah sepi, baru keluar.

Ada aja yang gue lakuin untuk mengisi waktu luang sebelum keluar stadion. Misalnya foto-foto. Yang parah, gue pernah dengan brutalnya menyusup sampai ke lorong kamar ganti stadion. Itu waktu pertandingan lawan Muenchen. Waktu itu nonton ma galang. Ini idenya dia. Dia bilang habis pertandingan waktu itu, "gimana kalau kita cari cara supaya bisa sampai ke kamar ganti, biar bisa lihat pemain pemain Muenchen dari dekat". Waktu itu pengamanannya memang gak terlalu ketat. Jadi dengan sedikit usaha, kami dan segelintir orang nekat lain, bisa melenggang masuk sampai lorong kamar ganti. Lumayan, dari lorong itu kami bisa melihat Oliver Kahn, Michael Rensing, Christian Lell dan pemain pemain Muenchen lain, termasuk pelatih Ottmar Hitzfeld, mondar-mandir dari jarak dekat. Hal yang lebih heboh lagi, terjadi setelah itu. Gue ma galang berinisiatif untuk ngendon di bus-nya Muenchen. Tak berselang lama, para pemain Muenchen muncul, dikawal ketat puluhan polisi. Tapi dengan sedikit trik, gue berhasil dengan sukses berjabat tangan dengan Oliver Kahn dan Ottmar Hitzfeld. Mungkin terlihat norak, tapi kalau kalian seorang penggila bola, kalian pasti tau betapa hebatnya kedua pria ini. Mereka adalah legenda, yang punya banyak torehan prestasi. Hitzfeld membawa Borussia Dortmund juara Eropa pada 1997, dan bersama Kahn, keduanya membawa Muenchen menjuarai Eropa pada tahun 2000, dan juga segudang trophy domestik. Jadi bisa bertatap muka langsung dan berjabat tangan dengan mereka berasa awesome banget. Kapan lagi gue bisa ketemu langsung sama mereka? Entah kapan juga gue bisa ke Jerman.

Kebiasaan gue gak langsung meninggalkan stadion begitu pertandingan selesai, suatu ketika hampir membawa malapetaka.
Jadi, begini ceritanya.... (dibaca dengan suara ditekan, penuh kengerian, kayak di program acara horor, kismis, beberapa tahun lalu)

Kejadian ini terjadi waktu Piala AFF 2008 silam, yang berlangsung medio Desember, dimana Indonesia menjadi co-host bersama Thailand. Gue gak pernah absen nonton di GBK sepanjang turnamen. Pertandingan pertama lawan Myanmar, gue nonton ma galang. Segala sesuatunya berjalan dengan sangat lancar. Indonesia menang 3-0, dan gue pulang nyampe kos dengan utuh, tanpa kekurangan suatu upilpun.

Matchday 2, Indonesia akan berlaga melawan Kamboja, yang berselang 2 hari sesudah laga lawan Myanmar. Seperti biasa, gue pengen nonton di stadion, meskipun sebenarnya ada siaran langsungnya di TV. Atsmosfernya lain, dukung timnas di GBK, lebih terasa passion-nya. Untuk menjalankan niat mulia ini, gue secara membabi-buta mengirim sms ke temen-temen gue yang suka sepakbola. Ajaib, dari semua yang gue sms, gak ada yang mau. Alasannya macem-macem, kebanyakan sih bilang karena pertandingannya cuma lawan Kamboja, yang merupakan timnas terlemah di Asia Tenggara, jadi kurang excited. Diamput.

Selain alasan itu, Alasan klasik mahasiswa kos, gak punya duit, juga ikut diapungkan. Memang, alasan "lagi gak punya duit" adalah alasan paling ampuh untuk menolak ajakan pergi dari seseorang. Hal ini berlaku terutama untuk kaum mahasiswa kos. Meskipun begitu, perlu diingat bahwa alasan satu ini gak bakal mempan buat menghadapi teman dengan kategori "tajir mampus". Ujung-ujungnya, dia akan bales, "Udah santai aja, entar gue yang bayarin. Lu pokoknya tinggal bawa badan aja. Ok? Sip. Gue jemput lu sekarang ya.."
breet..

Naah.. Karena gue bukan orang dengan kategori "tajir mampus", kalau untuk alasan seperti itu, gue gak bisa apa-apa. Boro-boro bayarin orang lain tiket, beli buat diri sendiri aja pas-pasan. Khas Mahasiswa kos. Gue putar otak, siapa yang kira-kira bisa diajak. Tiba-tiba, wajah Bayu, temen sekosan yang kamarnya sebelahan ma kamar gue, terlintas. Ok, gue bakalan bujuk dia buat nonton. Sekilas info aja, Bayu ini sama sekali gak suka sepakbola. Tapi, dia suka jalan-jalan. Jadi, gue pikir, dengan sedikit trik bujuk rayu rayuan gombal tipu muslihat, dia pasti bakalan klepek-klepek.

Gue keluar kamar, kebetulan banget dia juga lagi duduk-duduk di depan kamarnya. Lumayan, beban gue berkurang satu, gue gak perlu ngetok kamar dia.
inilah percakapannya :

gue : "Habis ini Ada acara bay?"
bayu : "Gak sih za, nganggur aja. Boring juga sih."
gue : "Nah, cocok. Ikut gue yuk, daripada lu bete di kosan."
bayu : "Kemana?"
gue : "Ke senayan, ke GBK, nonton bola. Timnas main nih, bay. Turnamen Piala AFF, lawan Kamboja. Lu belum pernah kan ke stadion? Itung-itung jalan-jalan"
bayu : "bayar, za?!"
gue: "Ya iyalah!! Jaman sekarang kencing aja bayar. Masa’ Nonton bola gak bayar?"
bayu : "berapa emang?"
gue : "Macem-macem bay, kan ada kelas-kelasnya tuh. Kalo mau yang murah meriah ya yang kategori 3, itu ntar nontonnya di tribun atas, harganya 20ribu. Itu udah enak kok. Ato kalo mau yang harganya diatasnya itu, itu kategori 2, tempatnya belakang gawang, harganya 35ribu. Gimana?
bayu : "Ah, gak lah kalo nonton bola. Males gue. Kalo perginya ke tempat laen, mau gue."
gue : "Yah, bay, gue pengen nonton, tapi gak ada temen".
bayu : "Gak ah, di tipi yang gratis aja gue gak nonton. Gimana ini bayar. Ogah ah"
gue : "justru itu bay. Lu belum pernah kan ke stadion? Suasananya beda. Lebih seru. Lebih rame. Mantap pokoknya. Serius gue."
bayu : "iya, gue belum pernah nonton di stadion, tapi tep ogah ah"

Melihat kengototan Bayu, gue gak menyerah. Gue harus lebih ngotot. Lantas gue terinspirasi dengan cara para PTS (Pria Tuna Susila? Bukan..bukan.. Jangan salah sangka. PTS disini adalah Pria Tajir mampuS (ok,ok.. untuk kali ini gue terpaksa nulis keterangan dibawah keterangan. Ini cuma buat memastikan kalian gak salah paham. Ini berkenaan dengan pelajaran Bahasa Indonesia soal Kalimat Ambigu. Ingat! Bacanya yang bener “Pria-tajir mampus”, bukan” pria tajir-mampus”, artinya udah beda!!)) kalo mau ngajak temennya pergi. Tapi karena gue bukan PTS, gue sedikit modifikasi triknya.

Gue : "Ayolah bay. Ya buat pengalaman lah. At least buat sekalinya aja lu pernah masuk ke stadion. Udah gini aja, kan tiket 20ribu tuh. Berdua jadi 40ribu kan? Nah, gue 30, lu tinggal tambahin 10. Lu gak usah mikir ongkos, naik motor gue aja."
bayu : "emm..gimana yak?"
(terlihat mulai tertarik, merenung dan berpikir.. Here's the moment, gue musti nglepasin satu sodokan terakhir..)
gue : "Udahlah, daripada bengong di kosan? Apa gak enak? Cuma keluar cemban, duduk manis di GBK, nonton bola. Seru kan?"

Dan saudara-saudara, apa yang terjadi?
Bayu akhirnya menganguk tanda setuju. Bujuk rayu gue berhasil.
Meski sebenarnya, kalau gue tau apa yang bakal terjadi setelah ini, gue mungkin bakal (hampir) menyesalinya.

Kami berangkat. Karena laper, kami mampir dulu makan di warung Trio di gerbang belakang kampus. Setelah makan, karena udah Masuk Maghrib, mampir dulu di Masjid, buat shalat Maghrib. Waktu udah 18.15 waktu kami selesai Shalat. Padahal kick-off pukul 19.00 WIB, dan belum beli tiket. Apalagi jam segini Jakarta macet lagi parah-parahnya. Mau gak mau gue harus pakai ngebut. Dan, sejurus kemudian, dengan brutal tapi handal, kami (lebih tepatnya gue, karena gue yang di depan) mulai menyusuri jalanan, nyelip-nyelip di antara mobil, motor, bus, dan bajaj, termasuk juga nyelonong ke trotoar. Memacu adrenalin. Udah gak terhitung berapa kali bayu ngomel gara-gara "manuver" gue terlalu berbahaya. Dan setelah perjalanan yang terus memacu degup jantung, di tengah jalanan yang macet parah, gue (kami) bisa nyampe Senayan dalam waktu 20 menit. Brilian. Valentino Rossi aja belum tentu bisa. Dia handal ngebut di sirkuit, bukan di jalanan Jakarta saat rush hour.

TKP (Tiket Kejadian Perkara)

Lantas, kami cari parkiran, lalu ke loket beli tiket. Lagu kebangsaan "Indonesia Raya" tengah dikumandangkan begitu kami sampai di dalam stadion. Pas banget. Gue paling suka momen ini, selalu merinding. Saat ketika lagu kebangsaan kita dimainkan, dan seisi stadion ikut bernyanyi. Awesome!! Jiwa nasionalisme kita serasa bergolak, dan kita merasa bangga menjadi orang Indonesia.

Nasionalisme dan rasa bangga yang mungkin sekarang telah memudar, karena digerogoti masuknya budaya dari luar, diperparah dengan rasa benci pada ketidakbecusan pemerintah. Rasa bangga yang telah berganti menjadi rasa minder pada bangsa lain, karena keterpurukan kita. Rasa bangga yang telah memudar, karena kita terlalu banyak meniru gaya hidup ala barat. Keramah-tamahan dan obrolan hangat, berganti jadi individualisme berasaskan "asal gue seneng dan bahagia, bodo amat dengan yang lain". Gak peduli dengan sekitar.

Pernahkah kalian merenungkan ini??

Ok, kembali ke stadion, nothing going wrong selama pertandingan. Yang gue heran si Bayu. Meski dia sama sekali gak suka sepakbola, dan tadi sempet bener-bener gak mau diajak nonton, tapi sekarang dia keliatan excited banget. Dia ikutan nyanyi, tepuk tangan, juga teriak-teriak. Satu lagi bukti bahwa Sepakbola adalah an universal thing. Semua orang bisa terbius olehnya. Dan, satu lagi, ini membuktikan opini gue di atas, bahwa nonton langsung di stadion itu lebih seru, lebih rame, lebih terasa passion-nya. Dan seperti dugaan, Indonesia gak kesusahan lawan Kamboja. Timnas menang 4-0. Wasit meniup peluit tanda berakhirnya pertandingan. Dan seperti biasanya, gue gak langsung balik.

For your info, Bayu ini suka banget yang namanya poto poto, alias narsis, meskipun (maaf) mukanya gak bisa dibilang ganteng. Kasarnya, dia adalah banci foto. Ditambah fakta bahwa ini pertama kalinya, dan mungkin untuk yang terakhir kalinya (mengingat dia gak suka sepakbola) dia ke GBK, dia mengisi waktu luang dengan foto-foto. Brutal.

Saking hebohnya foto-foto, kami jadi gak sadar bahwa kami sudah lama banget di dalam. Kami baru sadar ketika lampu stadion yang nerangin lapangan sudah dimatikan. Lapangan jadi gelap banget. Tapi untung lampu di lorong dan tangga sisi luar masih hidup.

"cabut, bay. Berabe kalo lampunya ntar dimatiin semua. Serem juga euy" kata gue.
"ok.." kata dia.

Kamipun mulai turun. FYI, GBK punya 4 lantai di sisi luar stadion. Untuk nonton di tribun atas, kita musti ke lantai 3, baru dari situ masuk ke dalam tribun.

Kami jalan keluar sambil ngobrol-ngobrol ringan. Sepanjang perjalanan, udah gak ada orang. Stadion udah sepi (banget). Gue ulangin, stadion udah sepi banget. Terlalu sepi. Gue ngeri juga. Tapi gue berusaha menyingkirkan pikiran pikiran buruk, dan tetap santai.

Kami turun, lantai 3, lalu lantai 2, lancar. Pas mau turun ke lantai 1, tiba-tiba.. Jroot.. Semua lampu di GBK dimatiin!! Gue kaget, secara spontan ngumpat. Demikian juga bayu. Gelap total!! Gak ada cahaya sama sekali!! Gue bahkan gak bisa liat tangan gue sendiri. Gue akuin, waktu itu gue takut. Ada 2 yang gue takutin, yang pertama soal hantu, gue lumayan takut, tapi bukan itu yang bener-bener gue takutin. Yang lebih gue takutin adalah manusia (baca : penjahat).

Gue ngeri aja bayangin tiba-tiba ada yang nabrak, mukul, ato bahkan nusuk gue dari depan ato belakang. Bayu, yang emang parnoan, uda melas-melas aja. "gimana nih, za?" kata dia. Gue gak mau memperparah keadaan dengan bilang kalo gue takut. Dalam keadaan seperti ini, harus ada salah satu yang jadi si pemberani yang dengan tenang, bisa memecahkan masalah. Dan, gue mutusin untuk jadi si pemberani. "tenang, bay, keluarin HP, lumayan buat nerangin jalan. Soalnya kita turun tangga, daripada ntar kesrimpet trus jatuh. Yang penting ati-ati..dan tetap tenang.." kata gue sok berani.

HP untuk nerangin jalan? Jenius. Gue justru baru aja membuat kami bisa terlihat orang lain. Tindakan bodoh. Kalo ada orang lain, mereka bisa lihat kami, tapi kami gak bisa lihat mereka. Bertambah lagi satu resiko. Tapi, kalau gak ngeluarin HP, tetap aja ada resiko, kesrimpet, lalu jatuh terguling-guling, luka parah, bahkan mungkin bisa lebih dari itu. Seperti makan buah simalakama. Lolos dari mulut buaya, masuk mulut harimau. Daripada mati konyol kesrimpet tangga, gue lebih milih ngeluarin HP. Gak terlalu banyak membantu, tapi, as i said before, lumayan buat nerangin tangga.

Satu demi satu anak tangga kami turuni dengan sangat hati-hati. "Biar lambat asal selamat", begitu kata pepatah. Kelambatan kami berjalan setara dengan kakek umur 95 taun yang jalan pakai high heels.

Setelah saat-saat menegangkan itu berlalu, seiring dengan kami menapaki anak-anak tangga yang terakhir, gue melihat cahaya. Cahaya dari luar stadion. Gue lega, bayu lega. Kami aman sampai luar.. Yahuu!!

Tapi sejurus kemudian, gue mulai sadar, rasa lega gue tiba-tiba terkikis. Gue melihat ada sesuatu di antara kami dan pemandangan di luar sana. Pintu besi. Dengan panik, kami menuju pintu. Kami coba buka pintunya, kami dorong - dorong..

Gak bisa. Pintu besinya sudah digembok.
Gue panik. Bayu lebih panik.

Keringat mengucur deras. Pikiran kacau. Ketegangan merebak. Kami terpenjara di GBK. Gak ada yang tahu kami disini. Kami akan membusuk disini, tiidaaaak..!!
Gue dan Bayu mencoba teriak sekeras mungkin. Gak ada orang lewat. Hanya kesunyian di luar sana.

Kami mulai saling menyalahkan.
"Lu sih, tadi kelamaan.." kata gue.
"lah, kok nyalahin gue? Lu juga tadi asik-asik aja diatas. Gue kan baru sekalinya disini. Mana gue tau kalo bakalan digembok gini?" kata bayu.
"ya biasanya gue gak lama-lama banget, jadi belum digembok. Mana gue tau kalo habis pertandingan ini pintu stadion digembok?" kata gue sewot.
"udahlah, gak usah dibahas, sekarang gimana neeh?" lanjut gue.
"aduh..ga tau deh, gue ngeri ni.." kata bayu. Wajahnya menyiratkan kalau dia udah super takut..

Sumpah, gue ngeri banget waktu itu. Gak tau harus berbuat apa. Apa iya gue musti bermalem disini? Dengan segala resiko yang gue gak tau. Lantas, gue teringat satu hal. Satu hal yang menambah pelik masalah. Motor gue!! Motor gue di parkiran. Kalau udah sepi, udah tengah malem ntar, apa iya tetep aman? Oh,great..makin tambah aja resiko. Motor gue motor biasa, bukan belalang tempurnya ksatria baja hitam yang bisa melawan kalau ada musuh.

Keadaan diperparah dengan pengapnya udara. Makin terasa pengap karena kami berdua panik.
Gue ma Bayu terus teriak-teriak, berharap ada orang yang tahu kami terpenjara di dalam, dan menolong kami dari luar. Tapi nasib, benar-benar gak ada orang yang lewat.

Gue mulai berpikir, sebenarnya ada cara lain. Naik lagi ke lantai 2, kemudian menyusuri lorong, dan turun lagi ke lantai 1 di pintu yang berbeda, dengan harapan masih ada pintu yang belum digembok. Tapi kemungkinannya kecil. Ada banyak pintu. Mana dulu yang harus dicoba? Belum lagi di dalam gelap banget. Gak kelihatan apa-apa. Terlalu berbahaya kalau naik-turun lagi. Masih mending disini, masih ada sedikit cahaya dari luar.

5...10 menit berlalu.. Tapi rasanya udah kayak seminggu.
Gue udah pasrah. Bayu masih teriak-teriak. Yang bisa gue lakuin cuma terus menatap tajam keluar sana. Berharap ada orang yang lewat. Gue berdoa, semoga kami bisa selamat.

Dan, Allah memang selalu mendengar doa hamba-Nya yang teraniaya..
Di tengah keputusasaan kami, terlihat sesosok bayangan, sedang berjalan mendekati pintu ini. Makin lama makin jelas. Yaa..!! Ada orang!! Seorang bapak-bapak berumur 40-an.
Spontan kami langsung teriak,
"Pak, pak.. Tolong pak.. Tolong.."

Kami teriak kenceng banget, dan alhasil, bapak itu dengar. Beliau langsung mendatangi kami,
"Lhoh, kok masih di dalem, mas?" tanya beliau, santai.
"Iya pak, tadi pas kita mau keluar, ternyata pintunya udah digembok. Mau naik lagi nyari pintu lain, susah, lampunya udah mati semua. Gelap banget." kata gue, nyerocos karena panik.
"Oo,yaudah mas. Tunggu dulu bentar,ya. Saya cariin kuncinya dulu. Soalnya saya bukan bagian sini" kata bapak itu. Ada secercah harapan.
"Oh..ya pak. Ya pak.. Makasih pak" kata gue, dan juga bayu.
"sebentar ya.." kata bapak itu, sambil berlalu.

Alhamdulillah, kebetulan banget bapak itu pegawai di GBK. Gue udah mulai tenang.
"Semoga kuncinya ketemu ya, za.." kata bayu.
"iya bay, Semoga.."

Semenit..dua menit..tiga menit..kami menunggu, dengan perasaan harap-harap cemas.
Gimana kalau kuncinya gak ketemu? Gimana kalau kuncinya rusak? Gimana kalau bapak itu tiba-tiba disms temennya ada urusan, terus karena terburu-buru, dia langsung pergi, lupa ma kami? Gimana kalau ternyata kuncinya ada, tapi dalam perjalanan ke sini, bapak itu tiba-tiba kebelet boker, terus secara gak sengaja kuncinya masuk WC?

Pikiran pikiran aneh terus ada di kepala gue. Bukan kenapa kenapa, dalam situasi buruk seperti ini, sering terjadi everythings going wrong.

Semua dugaan aneh gue buyar, ketika dari kejauhan gue melihat si bapak kembali.
Beliau menghampiri kami,
"ni ada kuncinya mas.." kata beliau, sembari membuka kunci gembok.
"oh,ya,ya pak.. Makasih banyak, makasih banyak, pak" kata gue dan bayu.
Sejurus kemudian, pintu terbuka. Kamipun keluar, menghirup udara segar. Lega rasanya. Tak henti-hentinya kami ngucapin terima kasih kepada bapak itu. Beliau berkata, "iya mas, sudah, sama-sama. Udah hakekatnya manusia itu saling tolong"

degg!! Gue tersentuh dengar omongan beliau. Di zaman sekarang ini, dimana orang udah makin individualis, tidak memikirkan orang lain, masih ada segelintir orang yang mau membantu sesama, yang bahkan tidak dikenalnya sama sekali. Coba pikir, ketika kami minta tolong tadi, sebenarnya beliau gak berkewajiban buat menolong. Tapi beliau mendatangi kami, menanyai dengan ramah, mau repot-repot nyariin kuncinya (yang gue sendiri ga tau nyimpennya dimana, mungkin jauh dari situ), trus balik lagi ke kami, bukain pintu, menyapa lagi dengan ramah, tanpa meminta imbalan sepeserpun.

Masih adakah banyak orang seperti ini sekarang, apalagi di kota besar macam Jakarta? Menurut gue tidak. Padahal beliau hanyalah seorang pegawai biasa di GBK. Tapi beliau memiliki jiwa yang luhur. Memang, menurut gue, benar adanya omongan orang, kalo wong cilik lebih peka terhadap sekitarnya, dibanding orang-orang "modern" yang cuma memikirkan diri sendiri dan kelompoknya.

Setelah ngucapin terima kasih kepada bapak itu, gue ma bayu mulai jalan ke parkiran. Perasaan gue leeegaaa banget, setelah thriller barusan. Kami ngobrol ma ketawa-ketawa kecil tentang kejadian barusan.

"Untung ya bay, ada bapak itu" kata gue,
"iya, za, baek banget lagi, ga tau gimana tadi kalo ga ada beliau" kata bayu.
saatnya sedikit bercanda, "iya bay. Alhamdulillah. Eh, btw, lu tadi takut banget di dalem. Hwakakakakaka..bakalan seru kalo diceritain anak-anak." kata gue.
"Ah..ngepet lu. Kayak lu ga takut aja tadi" jawab dia sewot.
" Ngeri woy. Hahaha... eh, jadi bener kan apa gue bilang, nonton bola di stadion jadi pengalaman seru kan. Haha.. Ga rugi dah.."
"Justru sebaliknya, gara-gara kejadian ini, gue jadi makin males nonton bola, hwahaha.." kata Bayu,

Kami tertawa lepas. Pengalaman yang tak terlupakan. Nyampe parkiran, motor gue uda tinggal sendirian. Udah sepi banget. Temen-temen tongkrongannya (baca : motor-motor yang lain) uda pada pulang.

Kami pulang. Kali ini ga perlu pake cara Valentino Rossi. Pelan-pelan aja, menikmati perjalanan, menikmati udara segar, menikmati kebebasan, yang hampir aja gak bisa kami nikmati malam itu, kalau gak ada bapak itu.

Semoga bapak membaca tulisan saya ini, dan teringat akan kejadian malam itu, dimana bapak menyelamatkan 2 orang laki-laki malang, yang hampir terpenjara di GBK.

Terima kasih, Pak..
Share on Google Plus
    Blogger Comment
    Facebook Comment