Siang itu, sekitar minggu pertama bulan September 2010, gue sedang berada di kamar kos yang gue tinggali selama 2 tahun terakhir, tengah mengemasi semua barang-barang gue. Ini adalah hari terakhir gue menempati kamar ini. Alhamdulillah, setelah melewati 36 rintangan dan 99 cobaan, studi gue disini selesai dengan baik. Malam itu juga gue akan pulang ke Semarang. Seperti lazimnya mahasiswa yang sudah lulus dan hendak “tutup kamar”, semua barang dan pakaian yang masih gue perlukan sudah gue kemasi. Siap dikirim ke Semarang. Tinggal 2 tumpukan kertas dan buku bekas yang masih tersisa di hadapan gue. Gue berpikir untuk memberikannya kepada pemulung. Dari seorang teman, gue dapat info ada seorang pemulung yang tinggal di gang pocong, sebuah gang kecil berjarak sekitar 200 m dari kosan gue.
Langsung saja siang itu, gue menyambangi rumahnya, sebuah rumah petak reyot yang kurang nyaman. Seorang lelaki berusia 40-an tengah merapikan tumpukan kardus dan kertas bekas di bagian depan rumah. Gue menghampiri bapak itu, lalu menyampaikan maksud gue, hendak meloakkan beberapa tumpuk kertas dan barang bekas.
Dengan muka sumringah, beliau langsung mengikuti gue, menuju ke kamar kos gue. Setelah membundel semuanya, beliau langsung mengangkatnya dan membawanya pulang. Baru sebagian, karena cukup banyak. “Sebentar, mas, saya taruh rumah dulu, nanti saya kembali lagi”, katanya. Sejurus kemudian, beliau kembali,
“Berapa semuanya, mas?”, katanya,
“Gak usah, pak, ambil saja. Toh juga udah gak kepake”, kata gue.
“Wah, saya gak bisa gitu mas. Udah mas, saya hargain 10.000 aja ya, biar sama-sama ikhlas” kata beliau, sembari mengulurkan selembar uang 10.000 diiringi senyuman.
“Gak usah, pak. Beneran.. saya ikhlas kok” kataku, berusaha menolak dengan halus. Beliau tetap bersikukuh, dan memaksa gue menerima uang itu. Akhirnya, gue terima juga uang itu, untuk menghormati beliau.
Tiba-tiba gue teringat dengan sepatu lama gue yang hampir jebol. Sepertinya sudah gak mungkin lagi gue pakai. Gue lantas mengambilnya di rak sepatu di depan kamar “Ouya, pak, ini ada sepatu bekas, sudah gak saya pakai lagi. Kali aja bapak mau..” kata gue, sembari menyodorkan sepatu itu.
“Ouya, mas. Mau banget. Wah, masih bagus ini. Terima kasih banyak ya, mas. Semoga sukses ketika bekerja nanti” kata beliau, sembari tersenyum, dan pamit pulang.
Sejenak gue terdiam, merenung. Orang (maaf) miskin macam bapak ini, masih punya malu, untuk selalu “membayar” apa yang dia dapat. Bekerja keras demi keluarganya, meskipun hasilnya tak seberapa. Sangat berbeda dengan tabiat banyak orang kaya dan berkuasa di negeri ini. Tidak pernah puas dengan apa yang telah mereka miliki, melakukan segala cara untuk mendapat lebih dan lebih, tanpa dibarengi “membayar” atas apa yang mereka dapat. Keserakahan telah menggerogoti hati nurani mereka.
Kembali ke kesibukan gue beres-beres. Ketika sedang membongkar lemari, di tumpukan terbawah ternyata masih ada 3 helai baju yang sudah lama gak gue pakai. Sudah lusuh, kayaknya gak mungkin lagi gue pakai. Tas juga sudah penuh, menolak untuk dimasuki lagi. Akhirnya gue masukkan baju itu ke dalam plastik. Gue berniat untuk memberikannya ke orang jalanan nanti.
Sebelum ke stasiun, gue sempatkan untuk “mencari” orang yang mau gue kasih baju ini. Gue melihat ada satu keluarga pemulung dengan gerobaknya tengah beristirahat di perempatan Bintaro Plasa. Gue mendekat ke mereka,
“maaf, Pak, Bu, mengganggu sebentar, inisaya ada baju bekas, barangkali mau..” kata gue, sembari mengumbar senyum manis.
Anak dari pemulung itu, mungkin berusia sekitar 5 tahunan, langsung menyambut uluran tangan gue, sembari tersenyum.. manis, tulus sekali. “terimakasih ya, bang..” Kedua orang tuanya juga tersenyum tulus kepadaku, sembari mengucapkan terima kasih. Raut wajah mereka jelas menggambarkan kegembiraan, kebahagiaan. Gue terdiam, terharu melihatnya. Yang gue beri hanyalah baju lusuh yang sudah lama gak gue pakai, sudah gak berharga buat gue, tapi bagi mereka, sangat berarti.
Sejenak gue merenung, gue bersyukur atas apa yang gue punya selama ini. Hidup gue yang kadang gue masih kurang puas karenanya. Karena gue masih saja kehujanan naik motor, karena gue kadang gak punya uang untuk membeli apa yang gue inginkan. Tapi di atas itu semua, gue masih bisa makan enak, gue masih punya tempat tinggal, gue masih bisa kuliah, gue masih punya baju bagus, gue masih punya yang orang lain gak punya. Ya, masih banyak orang yang tidak seberuntung gue. Masih banyak yang gak bisa makan, tidak punya tempat tinggal, tidak bisa sekolah.
Masihkah kita peduli..??
Ketika kita melihat orang yang lebih kaya dan lebih beruntung dari kita, kita selalu merasa kurang, merasa sial, lantas merutuki nasib. Tapi kita jarang mau melihat ke bawah. Cobalah sesekali melihat ke sekeliling kita, masih banyak orang yang kurang beruntung.
Masihkah kita menghardik pengemis yang datang meminta-minta pada kita? Mereka tidak menginginkan seluruh isi dompet kita, atau handphone kita, atau koleksi cd kita. Mereka hanya minta sedikit recehan. Jumlah yang apabila kita berikan pada mereka tidak akan membuat kita miskin. Uang seribu yang kadang tidak berarti bagi kita, akan sangat berarti bagi mereka. Supaya mereka tetap bisa makan hari ini.
Apalah artinya mengorbankan sedikit milik kita untuk kebahagiaan mereka?
Tidak perlu baju bagus, mobil mewah, rumah besar. Bagi mereka, bisa makan enak sudah sebuah kemewahan.
Masihkah kita peduli...?
Jangan hanya berdiam diri, kawan. Hanya mayat yang punya hak untuk diam tanpa melakukan apapun. Manusia ditakdirkan sebagai makhluk sosial, harus saling banti-membantu. Lihatlah sekeliling kita, mulailah lakukan hal-hal kecil yang bermanfaat bagi mereka yang kekurangan. Hal-hal yang mungkin gak berharga buat kita, akan sangat berarti buat mereka.
Renungkanlah ini, kawan.. Sedikit dari kita, berarti untuk mereka..
Blogger Comment
Facebook Comment