Rez

Off for a while!

100%

Put your email here if you want:

Comeback Later....
Copyright © Rez

Kepulauan Mentawai : Keindahan yang Terlupakan

Ombak Mentawai (sumber foto: internet)

2 tahun 9 bulan di Sumatera Barat, akhirnya kesampaian juga gue ke Mentawai. Buat yang belum pernah dengar, Mentawai adalah sebuah kabupaten kepulauan yang terdiri dari gugusan pulau-pulau kecil dan sedang, terletak 150 kilometer dari lepas pantai barat Sumatera, membentang dengan garis pantai sepanjang 758 kilometer. Posisinya langsung menghadap Samudera Hindia.

Buat kaum awam, Mentawai mungkin asing di telinga. Tapi untuk para surfer dan penikmat laut lainnya, Mentawai adalah surga dunia. Di banyak literatur disebutkan, mentawai termasuk sepuluh besar spot terbaik untuk surfing. Majalah Tempo, dalam edisi khusus wisata “100 surga Indonesia” terbitan 18 November 2013, memasukkan Mentawai jadi satu dari 100 “surga” wisata di Indonesia. Lebih lanjut disebutkan, hanya tiga pantai yang menyediakan ombak pipa dengan lorong panjang yang stabil: Hawaii, Tahiti, dan Mentawai. Secara kebetulan 3 tempat itu berakhiran huruf i. Surga bagi para peselancar dari seluruh dunia.

Posisi Mentawai (Panah Merah)
Setiap tahunnya, ribuan turis, baik domestik dan kebanyakan asing, menyambangi Mentawai untuk berburu ombak dan kesenangan yang ditawarkan pantai lainnya. Sebuah potensi pariwisata yang menggiurkan untuk mengalirkan devisa ke Indonesia. Tapi ironisnya, kenyataan di lapangan jauh dari angan. Fasilitas penunjang di Kepulauan Mentawai, baik transportasi dari Sumatera daratan, transportasi antar pulau, penginapan, kuliner, dan fasilitas pendukung lainnya seperti sinyal, sangat minim. Saat ini, menurut laporan Tempo, ada sekitar 15 resort dengan fasilitas mewah di Mentawai, lengkap dengan penginapan kelas atas, pembangkit listrik mandiri, dan pemancar sinyal. Sayangnya, kebanyakan milik orang asing, itu belum termasuk yang ilegal. Harga sewa semalam di resor-resor mewah itu, rata-rata US$ 150-200 (sekitar 1,5-2 juta). Alhasil, dolar dan euro yang keluar dari kantong kiri mereka, masuk ke kantong kanan mereka. Bukan kantong kita. Lagi-lagi, Indonesia hanya menjadi penonton, bahkan di negeri sendiri. Menyedihkan.

Perhatian pemerintah, baik pusat maupun daerah untuk mengembangkan potensi pariwisata di Mentawai masih sangat kurang. Bahkan bisa dibilang, Mentawai “terlupakan”. Orang baru ingat ada kepulauan di Indonesia bernama Mentawai, saat terjadi bencana gempa bumi dan tsunami pada Tahun 2010, yang menewaskan ribuan orang dan meluluh lantahkan puluhan desa. Barulah, perhatian mulai tertuju pada Mentawai, untuk merehabilitasi kepulauan yang luluh lantah tersebut. Selain dari pemerintah, justru sejak lama sudah banyak perhatian asing tertuju ke Mentawai. Banyak NGO (Non-Governmental Organization) asing yang mempunyai proyek-proyek sosial di Mentawai.


Secara umum, Kepulauan Mentawai terdiri dari 3 pulau besar (atau 4..) yaitu Pulau Siberut, Pulau Sipora, dan Pulau Pagai Utara dan Selatan; serta banyak pulau-pulau kecil lainnya (gue gak tahu berapa jumlahnya. Pokoknya banyak). Ibukotanya di Tua Pejat, yang berlokasi di Pulau Sipora. Kota Kecamatan kedua paling ramai setelah Tua Pejat adalah Sikakap.  Siberut, yang merupakan pulau terbesar, justru adalah yang paling “kurang maju”.
Penduduk Asli Mentawai (sumber foto: internet)

Penduduk Mentawai secara umum terbagi atas 2 kelompok besar, yaitu orang asli mentawai dan kaum pendatang, yang kebanyakan adalah Orang Minangkabau dan Nias. Ya, meskipun satu provinsi Sumatera Barat, orang asli Mentawai itu bukan Orang Minangkabau. Mereka memiliki bahasa sendiri, yang gue gak paham. Mereka tinggal di daerah-daerah perbukitan dan pedalaman di pulau. Banyak dari mereka masih mempertahankan pola kehidupan tradisional: mencari makan dengan berburu, tinggal di rumah tradisional, tidak memakai baju, masih memegang kepercayaan animisme dan dinamisme, dan lain sebagainya. Meski begitu, sudah banyak juga Penduduk Asli Mentawai yang sudah terbuka dengan dunia luar dan mengikuti perkembangan zaman: Sekolah, memakai elektronik dan teknologi, dan sebagainya.

Seperti yang gue sebut di atas, transportasi dari Sumatera Daratan ke Mentawai itu minim banget. Dari Padang, ada 2 pilihan transportasi :
  • Pesawat Susi Air (dari BIM) 2 kali seminggu dengan kapasitas 11 penumpang (yang pastinya ngeri-ngeri sedap naik pesawat ginian) yang akan mendarat di Rokot, Pulau Sipora. Harga tiket berkisar antara Rp300.000 - Rp400.000 sekali jalan, dengan waktu tempuh sekitar satu jam.
  • Kapal Penyebrangan KMP.Ambu-Ambu (dari Pelabuhan Bungus) 2 kali seminggu dengan waktu tempuh 11 jam (jurusan Padang-Tua Pejat) dan 13 jam (jurusan Padang-Sikakap). Jadwal keberangkatan pukul 17.00 WIB setiap Selasa dan Sabtu (Dari Padang) serta Rabu dan Minggu (Dari Tua Pejat/Sikakap)

Nah, jadi ngapain gue ke Mentawai? Surfing? Nope. Boro-boro surfing. Berenang aja gue masih kalah sama anak bebek.

Kalau orang lain ke Mentawai itu liburan, gue kerja. Errrr....sekalian liburan. Seperti yang gue sebut di atas, pasca gempa bumi dan tsunami 2010, pemerintah mulai bergerak untuk Mentawai. Dana puluhan miliar dikucurkan. Pemerintah Pusat melalui BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) dan Pemerintah Provinsi Sumatera Barat melalui BPBD (Badan Penanggulangan Bencana Daerah), meluncurkan program Rehabilitasi, Rekonstruksi, dan Percepatan Pertumbuhan Ekonomi pasca Gempa Bumi dan Tsunami Kepulauan Mentawai. So, sebagai auditor pemerintah, this is what i do: Pengawasan dan verifikasi pembangunan infrastruktur yang mencakup 9 kontrak perencanaan, pembangunan, dan pengawasan pekerjaan fisik; dan verifikasi pekerjaan pembersihan lahan (land clearing) untuk menyediakan kawasan hunian bagi warga korban bencana.

Untuk trip kali ini, gue berangkat bersama tim audit beranggotakan 4 orang, 2 orang peneliti dari BNPB pusat, 1 orang dari Bakrie Metal Industries (perusahaan rekanan) dan 4 orang dari BPBD Sumatera Barat. Kami akan menuju Sikakap, Pulau Pagai Utara.


Jangan bayangkan kapal penyebrangan dengan fasilitas wah macam di film-film. Nope. Yep, kalau kalian pernah nyebrang dari Jawa ke Bali, ya seperti itulah kapal-nya. Kapal jenis roro (roll-on roll-off). Bagian bawah untuk kendaraan dan muatan barang. Lalu di bagian tengah  deratan kursi dengan 3 kelas: ekonomi, bisnis, dan VIP. Dek di atas lumayan lega, nilai plus untuk kapal ini. Jadi bisa nikmatin indahnya laut sepanjang perjalanan. Tapi kalau yang punya riwayat mabok laut, mending jangan di dek dah. Kapal kecil, Gelombangnya gede. Perut rasa kayak dikocok kocok. Dijamin jackpot....  :D

Sunset di tengah laut

Dan setelah 13 jam perjalanan yang memabukkan.... Inilah Sikakap di pagi hari....


 Dan inilah yang gue lakuin di hari pertama disana...


Jalan beton mulus di Sikakap cuma sekitaran di Ibukota kecamatan aja. Selebihnya.....hanya Jalan Tanah Campuran Beton Cor kualitas rendah yang sudah rusak, yang membelah Pulau di tengah belantara hutan dan pemukiman penduduk lokal. Pokoknya berasa grasstrack lah. Seru.. :D

Dan selesai cek fisik..
Mancing di Dermaga sambil Menikmati Senja..

Sikakap bisa dibilang sudah lumayan. Listrik hampir tidak pernah mati. Err..ralat, selama gue disana, Listrik tidak pernah mati. Pilihan kuliner pun cukup beragam. Satu-satunya masalah besar buat gue selama disana adalah Sinyal. Ya..operator lain selain Telk**sel gugur tanpa tanda jasa disana. Dan Telk**sel pun, hanya menyisakan sinyal gsm, gprs, atau edge. Tidak ada jaringan 3g. Untuk telepon dan SMS tidak ada masalah, tapi jangan harap bisa connect ke internet. Sinyal hanya kuat menyampaikan messenger via bbm atau whatsapp. Itupun tidak real-time. Butuh sekitar 2 atau 3 menit untuk suatu pesan terkirim. Browsing..?! Lupakan saja. Jadilah, selama disana, gue sedikit “terasing” dari hiruk pikuk gemerlap social media. Ada bagusnya juga sih, buat penyegaran.

Satu lagi, siap-siap saja untuk merogoh kocek lebih dalam untuk konsumsi dan keperluan sehari-hari. Rata-rata harga makanan dan minuman di Mentawai lebih mahal Rp2.000-Rp6.000 per item dibanding harga di Sumatera Daratan. Untuk harga barang seperti sandal, handuk, baju, dan lain sebagainya, selisih harganya lebih bengkak. Wajar untuk daerah kepulauan dengan akses terbatas. Untuk penginapan, well, gue gak tahu gimana di Tua Pejat dan di daerah lain, tapi di Sikakap, penginapan yang tersedia sangat terbatas. Kelasnya pun bisa dibilang hanya setara Hotel Melati, dengan tarif berkisar Rp300.000-Rp400.000. Tak ada penginapan berbintang dengan fasilitas wah, kecuali di resort-resort asing bertarif jutaan rupiah per malam.

View dari Dermaga Depan Hotel

Hari selanjutnya adalah mimpi buruk sekaligus mimpi indah. Dari Sikakap, kami menuju Lakkau, di Pulau Pagai Selatan, naik perahu dengan mesin tempel, selama 2 jam. Sekali lagi, jangan bayangkan boat mewah macam di film-film.

Hendra, Juru Kapal Kami.. Entah karena sudah aturannya, atau dia lagi pengen ngelawak...
Apapun kendaraannya... Helm tetap di kepala..

2 jam dengan kapal seadanya, di tengah Ombak ganas Samudera Hindia. Adrenalin maksimal. Sepanjang perlautan, terbentang deretan Pulau-Pulau kecil dengan ombak yang luar biasa. Sangat menjanjikan untuk surfing. Banyak kapal-kapal wisatawan asing, tentu dengan kualitas kapal yang lebih wah. Alam yang luar biasa. Lautan lepas dengan deretan pulau-pulau kecil dengan ombak menggila.

 

Lakkau, sebuah daerah pedalaman di Pulau Pagai Selatan. Disinilah salah satu lokasi pembersihan lahan (land clearing), dengan metode membuka hutan untuk menyediakan kawasan pemukiman untuk relokasi warga korban gempa bumi dan tsunami.

Deretan Hunian Sementara Warga.. Sangat Sederhana..

Kami meninjau 2 desa disini, yaitu desa Limau Sua dan Desa Mapinang. Oh iya, gak ada jalan beton disini. Jadi dari dermaga, semua perjalanan ditempuh dengan jalan kaki. Sehat....

Some of the local boys..  :D

Seharian di Lakkau, Perjalanan pulang ke Sikakap adalah mimpi buruk. Ombak dan gelombang Samudera Hindia di sore hari menggila. Di tengah jalan, hal lebih buruk terjadi. Kami terperangkap hujan. Hujan di samudera Hindia di atas perahu kecil bukanlah ide yang bagus. Alhamdulillah, gue masih berkesempatan bertemu Ramadhan kali ini. Entah berapa kali Perahu dihantam ombak dan nyaris terbalik. Gotchaa...

Riding The Wave...
Gue ada di Kapal Ini.. (Foto oleh: Syafriadi-BPBD Sumbar)

And the rest of the day, kami masih melakukan pengecekan lapangan atas beberapa proyek pembangunan infrastruktur lain. Here’s the rest of the picture.....


Dibalik keindahannya, Mentawai meyimpan potensi bencana yang cukup mengerikan. Mentawai Megathrust adalah sebuah potensi bencana, yang sesuai model prediksi saat ini, kemungkinan akan terjadi dalam waktu dekat. Diperkirakan terdapat sebuah palung raksasa, antara di Selat Mentawai atau di Samudera Hindia pada lepas pantai Mentawai, yang sudah saling mendesak dan siap menyemburkan tsunami kapan saja. Tapi sekali lagi, ini adalah prediksi berdasarkan model penelitian yang dipakai saat ini. Terjadi atau tidak.. Wallahu a'lam...

Menariknya, penduduk lokal sama sekali tidak takut akan bahaya bencana yang mengintai mereka setiap saat. Mereka, penduduk asli Mentawai ini, telah terbiasa hidup harmoni dengan alam. Bahkan, dalam bahasa Mentawai, tidak pernah ada istilah Gempa Bumi. Gempa, oleh Orang Mentawai dari dulu, disebut Kakek. Mengapa disebut Kakek..?? Karena seperti logika umum, setiap Kakek datang, beliau pasti bawa oleh-oleh atau hadiah. Dan begitulah, setiap gempa terjadi, semua hasil kebun di pepohonan berjatuhan, beberapa hasil bumi dari dalam tanah bermunculan, dan tanpa dibajak, tanah akan menjadi subur. Believe it or not, mereka tidak pernah menganggap gempa itu bencana. Untuk mereka, gempa bumi itu anugerah. Menarik, eh..?!
 

Alhamdulillah, setelah seminggu lebih ada disana, kami bisa kembali dengan selamat di Padang. Overall, Mentawai dengan segala keindahan alam (pantai, pulau, dan hutannya), serta budayanya, adalah sebuah kombinasi yang layak untuk disinggahi. Hanya fasilitas saja yang memang masih minim. Selebihnya, Mentawai itu luar biasa...

Kalau orang asing saja menempuh ribuan kilometer untuk mengunjunginya, mengapa kita tidak..??
Explore your nations first.. before you think of going abroad..

So.. that’s all for now... 



Credit :
All Photos (except those that i've mentioned i take from internet) by:
Myself,  Aditya Ramdandika (@ditzcovery),  & Mr.Syafriadi (BPBD Sumbar)

Share on Google Plus
    Blogger Comment
    Facebook Comment